Sabtu, 04 Juni 2011

SRI MAHARAJA MAPANJI GARASAKAN (Keterangan Baru Mengenai Masalah Pembagian Kerajaan Airlangga


Jika seseorang membaca buku tentang Sejarah Indonesia Lama karangan Dr.N.J Krom (Krom, 1931), R.C.Majumdar (Majumdar 1938), G,Coedes (Coedes 1948), atau karangan Dr. R.Ng.poerbatjaraka, 1958, dalam Sejarah Indonesia Lama itu akan kita temukan adanya suatu bagian yang masih penuh jurang dan masalah-masalah yang belum terpecahkan. Salah satu jurang yang paling berpengarh adalah masa setelah pemerintahan Airlangga, dari tahun 1042 A.D. yang merupakan tahun pembuatan prasasti terakhir Airlangga sampai tahun 1117 A.D, yang merupakan tahun pembuatan prasasti pertama dari raja Bameswara.
Pada prasasti Sri Maharaja Haji Garasakan, yang bertahun 974 Saka (22 Agustus 1052 A.D), yang disalin dalam tahun 1258 Saka (21 September 1336 A.D). Prasasti ini menjelaskan tentang pemberian hadiah raja kepada para sesepuh desa Malenga, karena mereka sangat setia kepada raja pada saat peperangannya melawan musuhnya Haji Linggajaya, karenanya maka Haji Linggajaya berhasil diusir dari istananya di Tanjung. Prasasti in bermeterai garuda mukha, yang hingga sekarang hanya dikenal sebagai meterai-kerajaan yang dipakai oleh Airlangga dalam prasasti-prasastinya. Nama raja itu belum dikenal pada semua buku-buku sejarah, yang telah mendorong diadakannya penelitian ilmiah lebih lanjut. Terutama materai dan tahunnya, hanya 10 tahun setelah prasasti terkenal terakhir dari Airlangga, sangat menyulitkan.
Hal yang lebih menarik lagi dengan ditemukannya dalam prasasti batu Turn Hyang, yang hanya sebelah muka saja yang diterbitkan (Brandes- Krom,1913,hal,143-146). Prasasti ini berisi tentang penjelasan penetapan daerah-perdikan dari desa Turun Hyang, sesuai dengan sumpah Airlangga yang perlu dilaksanakannya ketika semua musuhnya ditaklukan. Prasasti ini juga berisi pernyataan pendirian bangunan pertapaan yang disebut “grivijayaasmara” (ginavayira patapaniranan sri vijayasmara). Edisi Brandes tidak menyebutkan tahun prasasti, tetapi prasasti itu mulai dengan unsur-unsur kalender tertentu. Yang jelas satu baris atau lebih telah terhapus. Namun, disini dapat kita simpulkan bahwa prasasti ini berangka tahun 958 saka. Pada piagam lainnya dijelaskan bahwa para sesepuh desa Turun Hyang menerima hadiah tambahan dari Sri Maharaja Mapanji Garasakan, ketika raja telah berhasil mengalahkan Haji Pangjalu. Ketika menunjukkan kepada hadiah yang dahulu dari raja Airlangga kepada sesepuh Turun Hyang, Gersakan memakai istilah “anugraha paduka mpungku”. Disini yang dimaksud dengan “anugraha paduka mpungku” adalah Airlangga.
Disini ada 2 hal yang perlu mendapat perhatian dari prasasti-prasasti diatas, yaitu ada dua dari prasasti itu yang bermeterai dengan Garudamukha, dan juga pada prasasti Turun Hyang B tentang perang antara Garasakan dan Haji Panjalu, dituliskan dengan istilah spesifik “hanar blah” mengingatkan kita kepada cerita tradisi tentang pembagian kerajaan Airlangga menjadi kerajaan Jenggala dan panjalu. Dan mengenai materai Garudamukha dan penjelasan penetapan daerah-perdikan desa Sumengka, sebagai hadiah dari raja kepada para sesepuh desa yang telah memohon kepada raja untuk menetapkan daerah-perdikan bagi desanya, agar memungkinkan mereka untuk memperbaiki sungai atau turunan, yang dibangun oleh Taduka Mpungku sebagai tanda kesetiaan mereka kepadanya.
Hal yang sangat menarik perhatian dalam prasasti ini adalah adanya fakta bahwa materai-Grudamukha diberikan istilah spesifik dengan kata-kata “jangga lanchana” arti dari lanchana berarti “tanda, cirri khas”. Jika dugaaan ini terbukti benar, yakni bahwa ungkapan “janggalanchana” dalam prasasti Sumengka itu sesungguhnya dapat dibaca “janggalalanchana”, hal ini menunjukkan bahwa Samarotsaha adalah puetra Airlangga, juga.bahwa Garasakan tidak mungkin menjadi raja Panjalu atau raja kerajaan lain, hal ini dapat diperoleh dari fakta bahwa ia telah mengadakan perang dengan raja Pangjalu,yang digambarkan dengan istilah spesifik ablah, dan bahwa cerita tradisi yang ada hanya membicarakan pembagian kerajaan Airlangga menjadi kerajaan Janggala dan Pangjalu.
Didesa Banjaran sekarang (Surabaya) masih ditemukan sebuah prasasti batu, setengah terpendam dalam tanah. Sayangnya tahunnya tidak dapat dibaca, tetapi berdasarkan pertimbangan palaeografis harus ditetapkan dari masa akhir abad sepuluh saka. Fakta yang paling menarik perhatian dalam prasasti Banjaran ialah disebutnya garudamukha yang mungkin menunjukkan materainya. Tetapi hal ini menunjukkan bahwa Mapanji Alanjung Ahyes, atau pun nama apa sebenarnya, adalah juga putera seorang Airlangga. Dengan demikian ada tiga raja Janggala yang berturut-turut yang semuanya Airlangga, mula-mula mapanji Garasakan yang diganti oleh Mapanji Alanjung pada tahun 974saka, dimana Samarotsaha adalah raja yang terakhir.
Pada prasasti batu dari Pamwatan menyebutkan bahwa Samarawijaya memegang jabatan rakryan mahamantri I hino, yang dipahatkan dalam huruf persegi yang besar dalam model seperti sebuah meterai, yang memberi keterangan pada kita bahwa ibukota terakhir Airlangga adalah Dhanapura. Dengan demikian ada lima orang putera Airlangga, yang sulung adalah Sanggramawijaya Darmmaprasadottunggadewi, yang apa sebabnya tanpa diketahui, diganti oleh Samarawijaya dalam jabatannya “rakryan mahamantri I hino”setelah tahun 959 Saka. Sanggramawijaya yang jelas puteri sulung dari parameswari, dan jadi ia diangkat menjadi puteri mahkota. Tetapi apa sebabnya tidak diketahui ia diganti oleh adiknya laki-laki, Samarawijaya, setelah memegang jabatan “rakryan mahamantri I hino” selama 16 tahun (sedikit-dikitnya dari tahun943 Saka sampai 959 Saka ).
Adanya kekhawatiran terjadi perang saudara antara dua puteranya. Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaanya menjadi dua bagian. Samarawijaya adalah raja Panjalu dengan ibukota lamanya Dhanapura, dimana Mapanji Garasakan mendapat bagian kerajaan Janggala, dengan hak-hak dan kekuasaan yang serupa dengan saudara laki-lakinya. Mengenai perbatasan antara dua kerajaan ini, berdasarkan terjemahan yang salah dari E.Kern pada abad ke-3 dan ke-4 Nagarakertagama 68,3 (Ken, 1919,hal.161) krom berpendapat bahwa perbatasan antara kerajaan Jenggala dan Panjalu itu membujur dari Barat ke Timur dibntuk oleh bukit-bukit Kendeng dan sumgai Brantas, lalu membelok ke Selatan ke Gunung Kawi sampai ke laut. Fakta lainnya yang perlu dipertimbangkan yaitu adanya kemungkinan lokasi Jenggala tidak jauh dari Surabaya Delta Brantas, seperti halnya yang disebutkan dalam Nagarakertagama.
Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Brandes, jelas bahwa nama pertapaan itu menjadi petunjuk secara tidak langsung akan kemenangan akhir Airlangga. Dengan demikian, tidak mungkin bahwa ada hubungan Airlangga dengan Sriwijaya atau denga Sri Sranggamawijaya Dharmaprasadotunggadewa berdasarkamn dugaan juga (Krom,1931,hal.262).  Menurut prasasti –Batu Pucangan yang bertahun 1041. A.D. (Kern, 1917 hal. 85-115) ini merupakan masa Airlangga mulai dengan serangannya menaklukkan raja-raja kecil sekitar kerajaanya dengan mengalahkan Wisnuprabhawa. Serangan berakhir hingga tahun 959 Saka(menurut Damais chronogram yang dibaca “munisarandhre” oleh Kern harus sesungguhnya dibaca “mukhasararandrhre”). Atas pertimbangan paleografis bias disimpulkan bahwa dalam memberikan hadiah tambahan pada para swesepuh Turun Hyang, Garasakan mempunyai sebuah piagam Airlangga yang ada, yang disalin diatas batu ini dan ditambahkan piagamnya sendiri.
Nama Paduka Mpungku terdapat pada beberapa prasasti Gandhakuti bertahun 1042 A.D, dalam sebuah prasasti batu dari Lawan, kabupaten Lamongan, yang di sisi mukanya seluruhnya tidak tidak terbaca, dalam prasasti Batu Sumengka tersebut diatas, dan dalam prasasti Batu 163-164. Prasasti Gandhakuti diterbitkan oleh Sri Maharaja Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana, sebulan sebelum prasati pamwatan. Dalam prasasti Sumengka ada sebuah sungai atau saluran yang disebutkan dibangun oleh (atas perintah ) Paduka Mpungku Bathara Guru Sang Lumah Ri Tirtha. Sebutan “Sang Lumah Ri” jelas menunjukkan bahwa orangh itu telah meninggal dan dimakamkan ditempat yang disebut setelah. Identifikasi (Paduka Mpungku) Bathara Guru dalam dua prasasti itu dengan Airlangga kemungkinan ditentukan dengan sebutan materai garudamukha. Bhatara Guru adalah sebutan setelah meninggalnya, menurut pendapat kami, yang pasti sejak tahun 981 Saka atau 1059 A.D. Ia telah didewakan.
Dalam prasasti Turun Hyang B tidak disebutkan materai-khusus. Kami hanya menemukan ungkapan “tinanda Garasakan”, yang menurut pendapat kami, berarti bermeterai dengan sebuah tanda yang khas untuk Garasakan. Prasasti-prasasti tidak menjelaskan historis menurut perasaan kita. Isinya kebanyakan hanya dokumen resmi tentang penetapan daerh perdikan sebagai hadiah dari seorang raja pada orang-orang yang berjasa atau untuk kepentingan keagamaan(tempat suci). Pertistiwa historis dalam sebuah prasasti merupakan alas an-alasan apa sebabnya sebidang tanah atau desa itu ditetapkan sebagai daerah-perdikan. Di lain pihak kita tidak ingin mengatakan bahwa dari pendapat ini harus berakibat adanya dua orang raja (bergantian) yang memakai duamaterai yang berbeda, mereka tidak ada hubungannya satu sama lain.
Pinaka adalah bentuk pasif dari maka, sehingga disini bagian yang ada di dalam prasasti Sumengka “berarti” ia putera (sesungguhnya) dari raja yang telah di dewakan. Krom telah berbuat salah memandang Kertajaya dan Srngga sebagai dua orang raja yang berbeda. Pernyataan  Krom bahwa rakrayan Mahamantri I hi no memakai gelar Mapanji terbukti salah. Bacaan yang benar adalah mapatih. Mengenai ibukota, disini yang perlu diperhatikan bahwa Daha dan Kahuripan adalah dua bagian kerajaan Majapahit yang paling penting. Disini Moens, telah menyatakan sebuah teori  bahwa Airlangga harus dimakamkan di dua monument, yang satu dengan patu Siwa, yang diidentifisir dengan tirtha, dan yang lainnya diidentifisir dengan pemandian di belahan dengan patung visnu, meskipun keadaan dua monument makam dari Airlangga dengan patung visnu yang sama yang naik Garuda sepenuhnya sesuai dengan fakta bahwa ia telah membagi kerajaannya diantara dua orang puteranya.
Disini kerajaan Panjalu berpusat di kadiri sekarang,sebagai dapat yang disimpulkan dari pembagian geografis dari prasast-prasastinya, disebabkan perpindahan ibukotanya, suatu cirri yang biasa dalam sejarah. Sebagai yang kita sebutkan pada catatan 21, ibukota Airlangga dipindahkan sedikitnya dua kali. Ibukota Majapahit dipindahkan dalam sejarah, sejak hal ini kita ketahui dari pararaton, bahwa ibukota Majapahit pertama ditetapkan terletak di Tarik Delta Brantas. Anak sungai kali Lamong, masih dipandang sebagai sungai suci , yang disebut kali Lanang, synonym dari kata Jalu, yang berarti laki-laki. Keterangan ini juga memberikan dugaan bahwa ada kemungkinan Mapanji Garasakan menang dalam pertempurannya terhadap raja Panjalu. Tidak adanya tanda berdirinya kerajaan Panjalu pada sepuluh tahun pertama setelah pembagian mungkin memperkuat dugaan ini. Mengenai letak kerajaan Bahayalangu menurut cerita pohon kamal dari Nagrakertagama, bahwasanya dapat disimpulkan bahwa lokasi Bhayalangu terletak antara Kulur, Batang, Ganganasem (desa janganasem sekarang dan Kedung Dawa, yang terletak dekat sungai Porong).